rss
twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)
Mendengar kata “editor”, mungkin tiap orang akan punya persepsi yang berbeda-beda, sebab saat ini banyak profesi yang bernama editor. Tapi kali ini, yang kita maksud adalah editor pada penerbitan buku.

Editor buku adalah orang yang ditugasi untuk mengedit atau menyunting bahasa sebuah buku sehingga menjadi lebih menarik dan disukai oleh pembaca. Menurut Melvi Yendra, editor di penerbit Beranda Hikmah, Jakarta, terkadang editor juga ditugasi untuk mencari naskah, menilai atau memutuskan layak tidaknya sebuah naskah untuk diterbitkan. “Bahkan ada juga editor yang sampai mengurusi percetakan, distribusi, dan lain-lain. Nah, ini namanya editor multi-task, hahaha…,” ujar aktivis Forum Lingkar Pena ini. Secara umum, ada tiga jabatan pada profesi editor buku. Yang pertama adalah Chief Editor atau Editor Kepala. Ia membawahi beberapa editor dan asisten editor. Tugasnya lebih kepada hal-hal strategis seperti pencarian naskah, membangun jaringan dengan para penulis, dan lain-lain.
Kedua, Editor itu sendiri. Ia bertugas menilai dan menyunting naskah. Biasanya, setiap editor akan menangani jenis buku yang berbeda-beda. Misalnya, ada editor yang menangani buku anak, buku remaja, buku komputer, buku agama, dan sebagainya.
Dan ketiga, Asisten Editor. Ia bertugas untuk membaca naskah cetak-coba (proof-read), atau naskah yang sudah selesai diedit dan siap untuk dicetak. Ia akan mencari bagian-bagian yang masih keliru, seperti salah ketik dan sebagainya. Kecermatan tentu amat diperlukan di sini, karena diharapkan tak ada lagi bagian yang salah pada si buku sebelum dicetak.
Berita baiknya, sebagian besar tugas editor di atas bisa ditangani oleh pekerja lepas atau freelance. Menurut Melvi, sebagian besar penerbit sekarang punya struktur organisasi yang ramping. Mereka banyak menggunakan jasa editor freelance. Dalam kasus seperti ini, tugas editor-in-house hanya sebatas mencari dan menyeleksi naskah untuk diterbitkan.
Tapi ini bukan berarti pekerjaan si editor in-house menjadi lebih santai. Jika penerbit tempat ia bekerja kekurangan naskah, tentu ia harus berusaha keras untuk mengatasi masalah ini. Sebab, setiap penerbit biasanya punya target produksi yang harus dipenuhi. “Kalau terjadi kekurangan stok naskah, penerbit akan ‘jemput bola’ dengan mengontak para penulis yang bereputasi dan meminta mereka menulis buku yang bisa diterbitkan,” ujar pria asal Minang, Sumatera Barat, yang sudah menjalani profesi editor sejak 2001 ini.
Selain itu, editor in-house biasanya terlibat pula dalam proses marketing. “Seorang editor tentu lebih tahu tentang isi buku yang akan diterbitkan,” ujar Melvi. Karena itu, editor biasanya sering berkoordinasi dengan orang-orang dari divisi promosi dan penjualan. Ia bisa memberikan masukan tentang strategi untuk menjual buku dengan genre dan segmen pasar tertentu. Dengan kata lain, sedikit banyaknya seorang editor juga harus mengetahui kondisi pasar, perilaku dan kecenderungan masyarakat dalam membaca buku. Ia harus tahu bacaan apa saja yang disukai oleh kalangan tertentu, dan bagaimana mengemas sebuah buku agar lebih menarik bagi si calon pembaca.
* * *
Untuk menjadi editor buku, tentu saja Anda harus menguasai bahasa yang baik dan benar. Anda juga harus mengetahui rambu-rambu penyuntingan naskah. “Selain itu, kemampuan menulis akan menjadi nilai lebih, karena kepekaan berbahasa itu sangat diperlukan dalam proses editing,” ujar pria kelahiran Batusangkar, 10 Februari 1975 ini, yang juga berprofesi sebagai penulis dan telah menerbitkan beberapa novel.
Namun bukan berarti seorang editor harus lulusan fakultas sastra. “Kalau editor berasal dari jurusan bahasa/sastra/editing, akar ilmunya akan lebih kuat. Tapi ini tidak menjamin bahwa dia lebih baik dari editor yang berasal dari disiplin ilmu lain. Menjadi editor yang baik tidak harus lulusan fakultas sastra, sebab ilmu editing bisa dipelajari secara otodidak,” ujar Melvi.
Dalam hal tertentu, seorang editor dari disiplin ilmu selain sastra/bahasa justru merupakan sebuah keunggulan. Misalnya ia adalah seorang sarjana komputer yang hobi menulis dan belajar ilmu editing secara otodidak. Maka, ia akan lebih capable dalam mengedit buku-buku komputer, sebab ia menguasai content dari naskah yang diedit. Ada banyak hal yang unik pada setiap disiplin ilmu, dan itu hanya dikuasai oleh orang-orang dari disiplin ilmu tersebut. Atau setidaknya, si editor buku – misalnya – komputer adalah orang yang hobi komputer dan menguasai banyak hal – belajar secara otodidak – tentang komputer.
Tapi tentu saja, setiap orang bisa belajar. Seorang editor yang berlatar belakang ilmu teknik arsitektur misalnya, bisa saja memutuskan untuk belajar ilmu ekonomi jika ia ditugaskan sebagai editor naskah-naskah ekonomi. Ia tidak harus belajar hingga mendalam dan detil, tapi cukup dasar-dasarnya saja.
* * *
Setiap editor tentu pernah – bahkan mungkin sering – menolak naskah. Ini sangat wajar, sebab tidak semua naskah layak untuk diterbitkan. Tapi bisa saja ada naskah yang ditolak oleh sebuah penerbit, tapi diterima oleh penerbit lain. Ini disebabkan setiap penerbit punya karakter, selera dan standar kriteria yang berbeda-beda. “Namun secara umum, penolakan naskah biasanya karena ia tidak bagus dari segi tema, cara penulisan yang kurang baik, tema naskahnya tidak sesuai tren, atau bisa juga karena terlalu tebal atau terlalu tipis. Bisa juga, penolakan disebabkan sudah banyak naskah serupa yang diterbitkan,” ujar Melvi.
Menurut lulusan Teknik Mesin Universitas Andalas, Padang ini, secara pribadi ia sering merasa tidak nyaman ketika harus menolak naskah, terutama jika naskah tersebut adalah karya teman dekatnya sendiri. “Rasanya enggak tega,” ujarnya.
Tapi tentu saja, seorang editor harus bersikap profesional, lebih mengutamakan naskah yang layak terbit ketimbang hal-hal yang bersifat pribadi.
“Dengan menjadi editor, kemampuan editing kita akan semakin baik. Kita juga bisa dekat dengan penulis atau orang-orang top,” ujar Melvi. (Jonru)

Kita harus punya prinsip, tapi jangan menjadi orang fanatik, karena orang yang fanatik adalah ciri orang bodoh. [KH Ahmad Dahlan, Sang Pencerah, 2010]

Tak banyak orang tahu bagaimana kisah Wati, Budi, dan Iwan ketika mereka sudah dewasa. Kebanyakan orang hanya mahfum saat Wati, Budi, dan Iwan masih lagi kecil. Ketika Wati, Budi, dan Iwan pergi ke sekolah yang selalu bersama. Ketika bapak mencangkul di ladang dan ibu pergi ke pasar. Yang ada di pikiran orang kebanyakan: Ini Budi, Ini Ibu Budi, ini Bapak Budi, Wati kakak Budi, dan Iwan adik Budi. Setelah itu, orang tak lagi peduli.
Dulu, jarang kita temui ada murid berani protes: kenapa Budi selalu memerankan tokoh protagonis? Tingkah lakunya selalu digambarkan baik dan mesti dicontoh sebagai tauladan. Tak pernah kita mendengar Budi membolos sekolah, mencuri jambu tetangga, atau berkelahi dengan teman sepermainan. Budi selalu melakoni hal-hal baik. Dan ironisnya: hampir semua orang percaya!

Padahal, bukankah jalan hidup manusia tak ada yang bisa menduga? Kita boleh punya banyak keinginan dan rencana, tapi kenyataan hidup tak selalu berjalan beriringan serupa toh. Budi, misalnya. Dengan segala citra diri yang melekat pada dirinya, tak semua orang tahu, ketika dewasa Budi justru tak seperti yang banyak digambarkan di buku pelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar Indonesia.

Ia tak pernah menyelesaikan kuliah, terlibat dalam organisasi peredaran narkoba kelas kakap, dan sulit untuk ditangkap. Ia memang bukan bos besar, tapi posisi dan perannya cukup signifikan serta ditakuti di Indonesia. Terutama di dunia hitam narkoba dan perjudian. Ia tinggal di ibukota negara. Tapi tak seorang kerabatnya tahu, di mana rumahnya. Hanya segelintir orang terdekat Budi yang tahu kehidupan pribadi Budi. Budi sulit dijangkau, tokoh, dan misterius.

Sementara Wati kakak Budi dinikahi sebagai istri kedua oleh seorang gubernur. Tinggalnya juga di ibukota negara. Tidak di kota atau di provinsi di mana sang gubernur menjabat. Ia memang ditempatkan di sana dan ditengok secara rutin melalui perkujungan pribadi bila sang gubernur ada urusan ke ibukota negara. Ia diberi modal untuk mendirikan perusahaan yang menjalankan proyek-proyek dinas. Koneksinya lumayan. Kini Wati malah berniat mencalonkan diri sebagai paling tidak bupati sebuah kabupaten atau anggota DPR. Namun lucunya, sedikit (bukan banyak) dari teman-teman Wati selalu menyebut kakak Budi tersebut dengan panggilan: ‘Ibu Gubernur’.

Iwan. Ya, Iwan adik Budi. Iwan yang dulu ketika kecil paling pendiam dan tak begitu mendapat porsi peran di buku pelajaran bahasa Indonesia, siapa nyana, ketika dewasa menjadi tukang kebun di komplek-komplek perumahan sebuah kota kabupaten. Ia memang pintar menyulap sebidang tanah gersang maupun belukar menjadi sebuah taman yang anggun, cantik, dan nyaman. Ia cerdik membuat arsitektur air terjun yang berundak di bidang yang tanggung. Tak aneh bila jasanya sering didengar orang dan dipakai di sana-sini. Baik di perumahan maupun kantor-kantor. Hanya satu yang tak bisa Iwan lakukan: membuat kolam renang. Karena ia memang bukan ahlinya. Tapi hidup Iwan bahagia dengan istri dan dua anak yang masih kecil-kecil.

Ketika anak-anak dewasa dan pindah ke kota, bapak menjual sawah dan ladangnya. Karena ketika pembangunan sedang gencar-gencarnya, di daerah rumah mereka didirikan pabrik-pabrik. Lahan sawah makin menciut. Produksi padi juga turut surut. Dan pemerintah negeri agraris ini terpaksa mengimpor beras. Dari sawah dan ladangnya, bapak menyisakan sebidang tanah yang ia sulap menjadi rumah kost untuk para buruh pabrik. Hasilnya lumayan. Cukup untuk makan bapak dan ibu di desa. Dan sebagai pengisi hari, bapak memelihara berbagai jenis burung. Setiap pagi seusai sarapan, kegiatan bapak hanya duduk menikmati suara burung-burung itu.

Ada satu hal yang tak pernah berubah dari dulu hingga sekarang. Yaitu ibu tetap pergi ke pasar. Mungkin ibu termasuk manusia praktis. Ia tak pernah belanja banyak-banyak. Segala kebutuhan hari itu ia penuhi dengan pergi ke pasar untuk hari itu pula. Maklum, jarak antara rumah dengan pasar memang dekat. Cukup jalan kaki. Dan lagi, dengan tetap pergi ke pasar membuat ibu tetap bergerak, bertemu orang, berbincang, serta mengetahui dunia luar. Itu mengapa rutinitas ‘pergi ke pasar’ tetap ibu lakoni dari dulu hingga kini.

Setiap menjelang lebaran, anak-anak masih kerap pulang ke rumah. Wati yang istri kedua sudah barang tentu pulang sendiri. Karena sebagai istri simpanan, tak mungkin ia pulang bersama sang gubernur. Sang gubernur jelas lebih punya kehidupan nyata. Begitu pun dengan Budi dan Iwan. Mereka tetap menyempatkan pulang. Budi mengenakan baju takwa, berpeci, dan merapihkan kumisnya. Di depan orangtua dan kerabatnya, Budi tetap dikenal sebagai seorang wiraswasta, beradab mulia tanpa cela, santun dan bersahaja, serta mencitrakan diri sebagai orang yang rajin beribadah. Dan semua orang percaya itu. Kalau pulang ke desa, Budi tak pernah membawa pengawal. Sementara pistolnya ia simpan di laci kamar rumahnya di ibukota.

Kehidupan berjalan. Orang-orang yang menjalani kehidupan pun turut berjalan. Memang tak ada yang abadi dalam hidup ini, kecuali perubahan. Sayangnya, tak semua orang menyadari dan berani mengakui terhadap perubahan itu sendiri. Orang masih lebih mempercayai apa yang ada di dalam kepalanya ketimbang apa yang terjadi di dalam kehidupan nyata.

Seperti kisah keluarga Wati, Budi, Iwan, ibu, dan bapak tadi. Semuanya berubah. Entah itu semakin baik, entah malah memburuk. Hanya ibu yang masih setia melakukan kegiatan rutin ‘pergi ke pasar’. Dari dulu hingga kini.

Ketika kisah ini diceritakan pada orang-orang, tak ada seorang pun yang percaya. Sebagian hanya tertawa, sebagian lagi mengibaskan tangan sembari menggeleng-gelengkan kepala. Mereka masih setia dengan apa yang ada di dalam kepala mereka: bahwa Budi adalah anak baik dan patut dijadikan tauladan. Tak mungkin menjalani profesi yang bukan-bukan. Lagi pula ia beradab mulia tanpa cela, santun dan bersahaja, serta mencitrakan diri sebagai orang yang rajin beribadah terhadap agamanya.

Apa boleh buat: orang masih lebih mempercayai apa yang ada di dalam kepalanya ketimbang apa yang terjadi di dalam kehidupan nyata.