twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Kita harus punya prinsip, tapi jangan menjadi orang fanatik, karena orang yang fanatik adalah ciri orang bodoh. [KH Ahmad Dahlan, Sang Pencerah, 2010]

Tak banyak orang tahu bagaimana kisah Wati, Budi, dan Iwan ketika mereka sudah dewasa. Kebanyakan orang hanya mahfum saat Wati, Budi, dan Iwan masih lagi kecil. Ketika Wati, Budi, dan Iwan pergi ke sekolah yang selalu bersama. Ketika bapak mencangkul di ladang dan ibu pergi ke pasar. Yang ada di pikiran orang kebanyakan: Ini Budi, Ini Ibu Budi, ini Bapak Budi, Wati kakak Budi, dan Iwan adik Budi. Setelah itu, orang tak lagi peduli.
Dulu, jarang kita temui ada murid berani protes: kenapa Budi selalu memerankan tokoh protagonis? Tingkah lakunya selalu digambarkan baik dan mesti dicontoh sebagai tauladan. Tak pernah kita mendengar Budi membolos sekolah, mencuri jambu tetangga, atau berkelahi dengan teman sepermainan. Budi selalu melakoni hal-hal baik. Dan ironisnya: hampir semua orang percaya!

Padahal, bukankah jalan hidup manusia tak ada yang bisa menduga? Kita boleh punya banyak keinginan dan rencana, tapi kenyataan hidup tak selalu berjalan beriringan serupa toh. Budi, misalnya. Dengan segala citra diri yang melekat pada dirinya, tak semua orang tahu, ketika dewasa Budi justru tak seperti yang banyak digambarkan di buku pelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar Indonesia.

Ia tak pernah menyelesaikan kuliah, terlibat dalam organisasi peredaran narkoba kelas kakap, dan sulit untuk ditangkap. Ia memang bukan bos besar, tapi posisi dan perannya cukup signifikan serta ditakuti di Indonesia. Terutama di dunia hitam narkoba dan perjudian. Ia tinggal di ibukota negara. Tapi tak seorang kerabatnya tahu, di mana rumahnya. Hanya segelintir orang terdekat Budi yang tahu kehidupan pribadi Budi. Budi sulit dijangkau, tokoh, dan misterius.

Sementara Wati kakak Budi dinikahi sebagai istri kedua oleh seorang gubernur. Tinggalnya juga di ibukota negara. Tidak di kota atau di provinsi di mana sang gubernur menjabat. Ia memang ditempatkan di sana dan ditengok secara rutin melalui perkujungan pribadi bila sang gubernur ada urusan ke ibukota negara. Ia diberi modal untuk mendirikan perusahaan yang menjalankan proyek-proyek dinas. Koneksinya lumayan. Kini Wati malah berniat mencalonkan diri sebagai paling tidak bupati sebuah kabupaten atau anggota DPR. Namun lucunya, sedikit (bukan banyak) dari teman-teman Wati selalu menyebut kakak Budi tersebut dengan panggilan: ‘Ibu Gubernur’.

Iwan. Ya, Iwan adik Budi. Iwan yang dulu ketika kecil paling pendiam dan tak begitu mendapat porsi peran di buku pelajaran bahasa Indonesia, siapa nyana, ketika dewasa menjadi tukang kebun di komplek-komplek perumahan sebuah kota kabupaten. Ia memang pintar menyulap sebidang tanah gersang maupun belukar menjadi sebuah taman yang anggun, cantik, dan nyaman. Ia cerdik membuat arsitektur air terjun yang berundak di bidang yang tanggung. Tak aneh bila jasanya sering didengar orang dan dipakai di sana-sini. Baik di perumahan maupun kantor-kantor. Hanya satu yang tak bisa Iwan lakukan: membuat kolam renang. Karena ia memang bukan ahlinya. Tapi hidup Iwan bahagia dengan istri dan dua anak yang masih kecil-kecil.

Ketika anak-anak dewasa dan pindah ke kota, bapak menjual sawah dan ladangnya. Karena ketika pembangunan sedang gencar-gencarnya, di daerah rumah mereka didirikan pabrik-pabrik. Lahan sawah makin menciut. Produksi padi juga turut surut. Dan pemerintah negeri agraris ini terpaksa mengimpor beras. Dari sawah dan ladangnya, bapak menyisakan sebidang tanah yang ia sulap menjadi rumah kost untuk para buruh pabrik. Hasilnya lumayan. Cukup untuk makan bapak dan ibu di desa. Dan sebagai pengisi hari, bapak memelihara berbagai jenis burung. Setiap pagi seusai sarapan, kegiatan bapak hanya duduk menikmati suara burung-burung itu.

Ada satu hal yang tak pernah berubah dari dulu hingga sekarang. Yaitu ibu tetap pergi ke pasar. Mungkin ibu termasuk manusia praktis. Ia tak pernah belanja banyak-banyak. Segala kebutuhan hari itu ia penuhi dengan pergi ke pasar untuk hari itu pula. Maklum, jarak antara rumah dengan pasar memang dekat. Cukup jalan kaki. Dan lagi, dengan tetap pergi ke pasar membuat ibu tetap bergerak, bertemu orang, berbincang, serta mengetahui dunia luar. Itu mengapa rutinitas ‘pergi ke pasar’ tetap ibu lakoni dari dulu hingga kini.

Setiap menjelang lebaran, anak-anak masih kerap pulang ke rumah. Wati yang istri kedua sudah barang tentu pulang sendiri. Karena sebagai istri simpanan, tak mungkin ia pulang bersama sang gubernur. Sang gubernur jelas lebih punya kehidupan nyata. Begitu pun dengan Budi dan Iwan. Mereka tetap menyempatkan pulang. Budi mengenakan baju takwa, berpeci, dan merapihkan kumisnya. Di depan orangtua dan kerabatnya, Budi tetap dikenal sebagai seorang wiraswasta, beradab mulia tanpa cela, santun dan bersahaja, serta mencitrakan diri sebagai orang yang rajin beribadah. Dan semua orang percaya itu. Kalau pulang ke desa, Budi tak pernah membawa pengawal. Sementara pistolnya ia simpan di laci kamar rumahnya di ibukota.

Kehidupan berjalan. Orang-orang yang menjalani kehidupan pun turut berjalan. Memang tak ada yang abadi dalam hidup ini, kecuali perubahan. Sayangnya, tak semua orang menyadari dan berani mengakui terhadap perubahan itu sendiri. Orang masih lebih mempercayai apa yang ada di dalam kepalanya ketimbang apa yang terjadi di dalam kehidupan nyata.

Seperti kisah keluarga Wati, Budi, Iwan, ibu, dan bapak tadi. Semuanya berubah. Entah itu semakin baik, entah malah memburuk. Hanya ibu yang masih setia melakukan kegiatan rutin ‘pergi ke pasar’. Dari dulu hingga kini.

Ketika kisah ini diceritakan pada orang-orang, tak ada seorang pun yang percaya. Sebagian hanya tertawa, sebagian lagi mengibaskan tangan sembari menggeleng-gelengkan kepala. Mereka masih setia dengan apa yang ada di dalam kepala mereka: bahwa Budi adalah anak baik dan patut dijadikan tauladan. Tak mungkin menjalani profesi yang bukan-bukan. Lagi pula ia beradab mulia tanpa cela, santun dan bersahaja, serta mencitrakan diri sebagai orang yang rajin beribadah terhadap agamanya.

Apa boleh buat: orang masih lebih mempercayai apa yang ada di dalam kepalanya ketimbang apa yang terjadi di dalam kehidupan nyata.